Ada yang istimewa di rumah keluarga Amrozi dan Ali Ghufron. Hari kedua setelah pelaksanaan eksekusi mereka menggelar syukuran “kemenangan”. Bukan bersedih, justru bergembira. Lha kok?


Ada pemandangan menarik di hari kedua, Selasa , (11 /11) sore. Sekitar 50 an orang duduk berkumpul penuh hikmat di rumah orangtua Amrozi, Mbok Tariyem. Mereka menggelar acara syukuran “kemenangan”.

Acara bertajuk “Tasyakuran Kemenangan dalam Menyambut Syahid (Insyaallah) Ali Ghufron dan Amrozi, Mereka Bukan Teroris”, digelar dalam rangka menyambut dan member dukungan terhadap keluarga korban.

Acara dilaksanakan dengan sangat sederhana dan sepi dari liputan media massa. Satu-satunya media yang beruntung melihat pemandangan ini hanyalah hidayatullah.com.

Pelaksanaan tasyakuran dilakukan usai shalat Ashar itu hanya dihadiri pihak keluarga dan sahabat terdekat. Acara diisi dengan tausiyah beberapa sahabat dekat dan wakil keluarga.

“Acara ini dilaksanakan untuk menunjukkan bahwa kita tidak bersedih, “ ujar ustad Ashari.

Ia juga menampik berita-berita di berbagai media massa di mana dijelaskan bahwa almarhum Ali Ghufron dan Amrozi digambarkan meninggal dalam keadaan pucat. Gambaran seperti itu menurutnya hanya ditujukan agar pihak keluarga dan sahabatnya dalam keadaan sedih dan takut. Padahal yang terjadi tidaklah demikian.

“Mungkin bagi banyak kalangan, kehadiran almarhum tidak ada yang menyambut, tidak ada yang simpati atau bahkan ditolak masyarakat. Alhamdulillah, tidak seperti itu”, tambahnya. Bahkan menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pelayat dan masyarakat yang hadir ribuan orang sampai harus berjalan berkilo-kilo jaraknya. Berdasarkan pantauan hidayatullah.com, sampai Selasa sore kemarin, pelayat yang datang masih antri dari berbagai kota.

Selain itu, menurut Ashari, tasyakuran ini untuk mengenang tauladan kedua almarhum. Diantaranya sikap konsisten, selalu menjauhkan hal-hal yang subhat dan optimisme yang luar biasa terhadap perjuangan Islam. “Sampai akhir hayat, mereka berdua tidak pernah memakan makanan yang diberikan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP)”, tambahnya.

Menurut Ashari, apakah kedua almarhum diberi gelar syuhada atau tidak, terserah masyarakat yang menilai. Tapi ketiganya (Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi, red) telah menjadi “tauladan” sepanjang yang diyakininya benar dan dibawa dengan konsisten.

Ashari kemudian menutup tausiyah nya dengan membacakan kisah Ibnu Taimiyyah saat dimasukkan dalam jeruji besi oleh penguasa di sebuah penjara di benteng Damaskus.

Menurutnya, kala itu Ibnu Taimiyah sempat berkata, "Apakah gerangan yang akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku? Syurgaku dan kebunku ada di dadaku. Ke mana pun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwat-ku, kematianku adalah mati syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku".

Acara kemudian dilanjutkan dengan makan gulai kambing yang merupakan sumbangan dari para kerabat dan sahabat dekat Amrozi dan Ali Ghufron. [adm/hidayatullah]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts