JAKARTA - Klaim Glaxo Smith Kline (GSK), produsen vaksin meningitis (radang selaput otak) bagi jamaah haji yang terbebas dari material bovine (sapi) dan pocine (babi) alias animal free ternyata hanya isapan jempol belaka. Dalam presentasi GSK di hadapan sejumlah lembaga terkait, terungkap bahwa pembuatan vaksin meningitis ternyata masih menggunakan enzim babi.
"Meski pada hasil akhirnya vaksin meningitis itu tak lagi mengandung enzim babi, namun dalam prosesnya masih menggunakan enzim babi," ungkap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Umar Shihab, kepada Republika , Jumat (22/5). Menurut Kiai Umar, kepastian penggunaan enzim babi itu terungkap saat perusahaan GKS, mempresentasikan proses pembuatan produknya di Gedung Depkes pada Rabu (20/5).

Kiai Umar menegaskan, karena telah bersentuhan dengan enzim babi, sebenarnya MUI menyatakan status vaksin itu adalah haram. Pemerintah, papar dia, meminta agar MUI menetapkan fatwa tentang vaksin itu. Rencananya, MUI akan membahas masalah itu pada Selasa (26/5) mendatang dalam forum rapat harian MUI.

Pihaknya memperkirakan kemungkinan besar MUI masih akan memutuskan status darurat bagi vaksin meningitis itu. Pasalnya, kata dia, meski telah bersentuhan dengan enzim babi, vaksin meningitis sangat dibutuhkan umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah ke Tanah Suci.

"Karena vaksin ini diwajibkan untuk jamaah haji dan umrah, kemungkinan hasilnya akan darurat dan tidak jadi masalah bagi umat Islam untuk menggunakannya, karena ini dalam keadaan terpaksa. Secepatnya kita akan tetapkan fatwanya," papar Kiai Umar. Pihaknya menegaskan, status vaksin meningitis itu tak boleh darurat terus-menerus. Harus secepatnya diganti dengan bahan halal, seperti tumbuhan atau hewan yang halal."

Temuan itu sekaligus mematahkan klaim GKS dan Depkes. Seperti diberitakan Republika (7/5), Depkes melalui Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Prof dr Tjandra Yoga Adhitama, dalam suratnya tertanggal 4 Mei 2009 yang dikeluarkan melalui Pusat Komunikasi Publik Depkes memastikan bahwa vaksin meningitis tak menggunakan bahan dari babi.

Dalam suratnya kepada kepala dinas kesehatan provinsi, Dirjen P2PL menyatakan, vaksin yang digunakan calon jamaah haji dan umrah Indonesia adalah vaksin meningitis Mencevax ACWY. Dalam proses pembuatannya, vaksin ini menggunakan kultur media yang bebas binatang, termasuk bebas dari material bovine (sapi) dan porcine (babi).

Menanggapi hasil pertemuan sejumlah lembaga dengan GSK, Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), pimpinan Baluki Ahmad, menegaskan, pihaknya masih menunggu hasil keputusan MUI. "Kita masih menunggu hasil MUI dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), katanya masih harus dikaji." Amphuri mendesak MUI dan pemerintah segera membuat keputusan tentang status hukum enzim ini. Alasannya, kata dia, jumlah jamaah umrah yang tidak mau disuntik vaksin meningitis kian bertambah.

"Mereka akhirnya hanya diperiksa dan mendapatkan kartu kuning, tanpa disuntik. Ini kan untuk ibadah, mereka yang cemas karena masalah ini tidak dapat dipaksa untuk disuntik," papar Baluki. Pihaknya mengaku tak setuju status hukum vaksin meningitis itu jatuhnya darurat, jika dalam proses pembuatannya telah bersentuhan dengan enzim babi. Menurut dia, MUI harus membuat keputusan yang tepat. "Jika penyakit Ini tidak endemik dan tidak menular di Indonesia walaupun hanya bentuk pencegahan, vaksin ini tidak terlalu penting atau tidak darurat. Kalau pada akhirnya darurat, saya tidak setuju, harus dicarikan jalan keluar dengan tetap mencari vaksin yang halal."

Baluki bertekad akan menyarankan jamaah umrah dan haji agar tidak perlu disuntik vaksin, jika MUI dan pemerintah menetapkan status darurat. "Saya lebih baik menyarankan tidak usah disuntik jika statusnya darurat. Ini harus ada legitimasi hukum yang jelas. Umat jangan dikorbankan karena persoalan-persoalan tertentu," katanya menegaskan.[adm/republika]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts