Era 90-an, Algeria adalah surga dunia. Orang menyebutnya sebagai Paris Afrika, karena betapa bebasnya kehidupan di negara ini. Segala macam tempat hiburan tersedia di sini.

Namun hari ini, tak ada lagi bar atau restoran dan tempat-tempat yang identik dengan remang-remang itu. Negara di belahan utara Afrika ini memang terkenal toleran dan pemerintahnya sekuler, tapi kehidupan malamnya sudah kelewat batas.

Dalam satu tahun belakangan ini, setidaknya sebanyak 40 bar, restoran, dan klub malam telah ditutup. Penutupan itu dilakukan sendiri oleh pemerintah Algeria. Namun, hal ini terjadi karena adanya keinginan dari warga Algeria sendiri. Saat ini di Algeria terdapat sekitar 32 juta orang yang beragama Islam. Mungkin karena jumlah yang banyak itu pula, alkohol misalnya, dilarang di negeri ini, sebagai bentuk penghormatan.

Kehidupan malam yang bebas di Algeria tak lepas dari penjajahan Prancis. Ketika tahun 1966 Algeria merdeka, tidak heran jika paham sosialis yang banyak melatarbelakangi pemerintahannya. Namun, para muslim di negara itu tak pernah diam untuk menginginkan aspirasi mereka diperhatikan.

Di Algeria terkenal tragedi “Dekade Hitam” di mana sebanyak 200.000 orang diperkirakan mati karena serangan pemerintah. Peristiwa ini terjadi pada 1992, ketika tentara membatalkan pemilu karena kandidat orang Islam diperkirakan akan menang.

Pemberitaan tentang perkembangan Islam di Algeria ini selalu dengan kover bahwa aksi kekerasan berada di belakangnya, seperti pemaksaan pemakaian jilbab, pelarangan merokok di tempat umum pada bulan Ramadhan, atau pengadilan mereka yang murtad dari agama Islam. Padahal, kesadaran masyarakat adalah sesuatu yang menyebabkannya.

Rakyat Algeria, sudah melihat berpuluh tahun lamanya negaranya tenggelam dalam kemorosotan akhlaq yang membahayakan negerinya. Rachid Tlemcani, seorang professor politik di Universitas Algiers berkata, “Kami tengah menyaksikan pertumbuhan Islam dalam kehidupan masyarakat.” [adm/eramuslim]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts