Ali Khamenei merupakan pemimpin tertinggi revolusi Iran. Siapa sebenarnya yang paling berkuasa di Iran? Demikian pertanyaan yang sering muncul setiap kali orang luar membahas sistem politik Iran. Dalam sistem politik Iran, meski dipilih langsung oleh rakyat, presiden berada di bawah bayang-bayang kekuasaan seorang wali faqih. Dan keberadan wali faqih menjadi ciri khas demokrasi Iran

Negara teokratis yang demokratis, mungkin itulah istilah yang mungkin bisa merangkum gagasan sistem politik Iran mendiang Imam Khomeini. Seperti banyak negara yang menyatakan diri demokratis, Iran memiliki parlemen dan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Hampir setiap tahun warga Iran memberikan suara dalam berbagai pemilihan. Khusus untuk pemilihan presiden, pemberian suara dijadwalkan empat tahun sekali.

Pemilu di Iran.

Dan peran politik rakyat sangat kentara dalam pemilihan presiden kali ini. Di banyak tempat, antrian calon pemilihan terbentuk sebelum TPS di buka. Seperti dalam tradisi demokrasi Barat, kartu suara kemudian dihitung dan peraih suara terbanyak berhak menjadi presiden. Namun, ada mekanisme politik pasca pemilihan presiden yang membuat sistem politik Iran berbeda dari negara lain.

Presiden terpilih Iran masih bisa langsung memegang kekuasaan. Ada satu institusi politik yang harus memberikan lampu hijau akhir, sebelum sang presiden terpilih benar-benar memimpin dan mengendalikan pemerintahan.

Walil Faqih

Untuk pertama kali para capres melakukan debat di TV. Nama lembaga itu adalah pemimpin tertinggi revolusi Iran, atau wali fakih. Pengamat politik Iran Ammar Fauzi, yang tengah merampungkan program doktoral ilmu filsafat di Universitas Qom, menjelaskan pengaruh dan kewenangan wali fakih.

Posisi wali fakih atau pemimpin tertinggi revolusi Iran baru berganti tangan dua kali sejak 1979, tahun kemenangan revolusi Islam di bawah komando Imam Khomeini. Sepeninggal Imam Khomeini, Ayatollah Ali Khamenei mengisi posisi strategis tersebut. Ammar Fauzi mengatakan, wali fakih sangat menentukan arah kebijakan pemerintah yang ditempuh presiden Iran, meski menurut konstitusi presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi.

Perubahan tradisi politik

Terlepas dari sistem politik mapan peninggalan Ayatullah Khomeini, seperti dijelaskan Ammar Fauzi, pemilihan presiden kali ini membawa perubahan baru ke tradisi politik Iran. Untuk kali pertama, para calon presiden melakukan debat live di televisi. Mahmoud Ahmadinedjad saling kecam saingan politik Mir Hossein Mousavi di hadapan jutaan pemirsa. Pemilihan presiden Iran yang berlangsung pertengahan Juni menyedot perhatian media internasional.

Dunia luar mencermati Pemilihan presiden Iran kali ini, karena alasan lain. Perhatian esktra tersebut tidak lepas dari program nuklir Iran yang dipermasalahkan oleh beberapa negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dan, pada saat yang sama, muncul tanda-tanda awal bahwa Washington dan Teheran tampak ingin memperbaiki hubungan bilateral sejak Presiden Barack Obama terpilih awal tahun ini.

Namun, banyak pengamat berpendapat, ada banyak masalah yang menunggu presiden baru Iran, siapa pun dia. Dubes Republik Indonesia di Tehran, Iwan Wiranata Atmaja mengatakan, calon presiden yang digambarkan konservatif dan reformis hanya berbeda dalam pendekatan terhadap isu nuklir. Di front luar negeri, Dubes Iwan Wiranata Atmaja mengatakan, posisi Iran dalam isu program nuklir tidak akan bergeser jauh.

Dari luar Iran, banyak pihak juga mencermati seberapa jauh Iran akan berubah, jika memang perubahan itu benar-benar terjadi seperti debat calon presiden.

Golongan Syiah, yang sudah mewujud dalam sebuah negara seperti Iran, membuat sistem baru dalam menjalankan sistem ideologinya. Fenomena kalangan Syiah yang mencampurkan antara tradisi ajaran Syiah dengan demokrasi ini akan menjadi kazanah bagi kalangan pemikir Islam untuk dikaji? [adm/eramuslim]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts