Menjelang penghujung tahun, rakyat di kawasan mayoritas Muslim di Kashmir yang masuk wilayah Himalaya merasa frustrasi terhadap Presiden AS Barack Obama karena mengabaikan kepentingan mereka sehubungan dengan memanasnya hubungan dengan India.

“Ketika Obama datang, ada begitu banyak harapan bagi kami untuk mendapatkan kembali masa-masa bahagia di Kashmir,” kata Pervez Imroz, seorang pengacara dan kepala koalisi kelompok masyarakat sipil, kepada Washington Post pada hari Rabu, 30 Desember.

“Namun, ketika menyangkut masalah hak asasi manusia, kami benar-benar merasa dikecewakan. Segalanya tidak lebih dari sekedar retorika pemilihan umum.”

Dalam kampanye pencalonannya sebagai presiden AS, Obama berjanji untuk mendorong penyelesaian perselisihan yang terjadi di kawasan Himalaya yang dihuni oleh populasi mayoritas Muslim, yang diperebutkan oleh India dan Pakistan sejak tahun 1947 setelah merdeka dari Inggris.

Dalam wawancara dengan MSNBC pada tahun 2008, sebelum naik menjadi presiden, Obama mengatakan bahwa pemerintahannya akan mendorong India agar menyelesaikan perselisihan dengan Pakistan seputar masalah Kashmir sehingga Pakistan dapat menjalin kerja sama yang lebih baik dengan AS mengenai masalah Afghanistan.

Obama menyatakan bahwa sumber ketidakstabilan Afghanistan berada di Pakistan, dan hal itu ada hubungannya dengan konflik antara Pakistan dengan India, dan akar permasalahannya adalah Jammu dan Kashmir.

Kedua negara tetangga yang sama-sama berkekuatan nuklir tersebut telah dua kali berperang sejak kawasan tersebut merdeka.

Pakistan dan PBB mendukung hak dari masarakat Kashmir untuk mendapatkan kebebasan, sebuah hal yang ditentang kuat oleh New Delhi.

“Washington merasa khawatir. Jika mereka campur tangan secara terang-terangan dalam masalah Kashmir, maka hal itu berpotensi menjadi bumerang bagi mereka dan justru akan merusak hubungan yang mereka jalin dengan India,” kata Howard Scgaffer, seorang pensiunan pejabat Departemen Luar Negeri yang merupakan seorang pakar mengenai masalah Asia Selatan.

Schaffer, pengarang dari buku berjudul “The limits of influence: America’s Role in Kashmir,” menekankan bahwa hal tersebut merupakan alasan utama mengapa Obama tidak menunjuk seorang utusan khusus untuk Kashmir.

Obama telah menunjuk beberapa orang utusan khusus untuk menangani konflik Timur Tengah, demikian halnya dengan kawasan Pakistan dan Afghanistan.

Para penduduk Kashmir ingin agar AS mau mengkritik pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah India.

Kami ingin agar Washington bersedia mengeluarkan kritikan untuk menentang tragedi ini,” kata Imroz, sang pengacara. “Selama ini, mereka hanya membisu.”

Banyak pihak juga berharap agar Obama menepati janji yang pernah diucapkannya untuk mendorong adanya penyelesaian damai terhadap konflik di kawasan tersebut.

“AS harus berbicara dengan India maupun Pakistan,” kata Mirwaiz Umar Farooq, ketua Konferensi Hurriyet dari semua pihak.

“Pemerintah Obama dan India tidak bisa bersembunyi di belakang (peristiwa) Mumbai.”

India menimpakan kesalahan dari serangan Mumbai, yang menewaskan 146 orang, terhadap Lashkar-e-Tayyeba (LeT) dan menuding kelompok tersebut memiliki hubungan dengan intelijen Pakistan.

Indis bersikeras bahwa negosiasi dan rasa saling percaya tidak akan dapat dibangkitkan kembali kecuali dalang serangan Mumbai telah diadili.

Pakistan, yang menyangkal segala bentuk keterlibatan atau hubungan dengan serangan tersebut, mengatakan bahwa Infia tidak bekerjasama dengan para jaksa penuntut untuk menyeret para pelaku kejahatan di hadapan pengadilan.

“Ada banyak pemuda Kashmir yang hanya menginginkan kehidupan yang baik,” kata Irfan Ansari, manajer sebuah pusat layanan telepon. “Kita harus mengalihkan pikiran-pikiran muda ini dari konflik.”

Farooq menyetujui hal tersebut. “Jika kesempatan ini dilewatkan, maka segala hal yang telah dilakukan harus dimulai lagi dari awal.” [adm/suaramedia]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts