YERUSALEM  – Amnesti Internasional meminta otoritas Israel menghentikan gangguan terhadap para aktivis hak asasi manusia Arab yang ditahan dengan tuduhan mata-mata untuk Hizbullah.

Amnesti mengatakan Ameer Makhoul, seorang warga Arab di Israel, dihilangkan haknya untuk mendapatkan penasihat hukum selama ada di tahanan.

Otoritas Penjara Israel mengacu pada pertanyaan kantor berita AFP terhadap keadaan tahanan tersebut kepada dinas keamanan Shin Bet, yang tidak dapat dihubungi secara langsung.

“Penangkapannya yang dilanjutkan dengan penahanan murni merupakan gangguan, yang memang dirancang untuk menghambat pekerjaan hak asasi manusianya,” kata Amnesti.

“Jika benar itu yang terjadi, kami akan menganggap dia sebagai tahanan politik (dan) mendesak agar ia segera dibebaskan tanpa syarat.”

Makhoul ditangkap pekan lalu oleh polisi dan para agen Shin Bet dalam sebuah penggerebekan di kediamannya, sebelah utara kota pelabuhan Haifa.

Pria Arab Israel lainnya, Omar Sayeed, yang juga dituduh menjadi mata-mata Hizbullah, ditangkap pada tanggal 24 April, namun kabar mengenai dua kasus tersebut dilarang beredar oleh sebuah perintah bungkam pengadilan yang baru dicabut hari Senin lalu.

Makhoul, yang saudara laki-lakinya, Issa, merupakan mantan anggota parlemen Arab Israel, merupkan kepala Ittijah (Persatuan Asosiasi Berbasis Komunitas Arab), sebuah kelompok yang memerangi diskriminasi terhadap warga Arab di Israel.

“Ameer Makhoul adalah seorang aktivis penting pembela hak asasi manusia, ia banyak dikenal karena aktivismenya di kalangan masyarakat sipil untuk membela warga Palestina yang tinggal di Israel,” kata Amnesti Internasional dari markasnya di London.

Penangkapan Makhoul membakar amarah kaum minoritas Arab di Israel, yang telah mengorganisir sejumlah unjuk rasa menentang penahanan Makhoul.

Sekitar 300 orang menggelar unjuk rasa di Haifa pada hari Senin lalu, mereka menuntut agar Israel membebaskan dua orang pria tersebut, kata seorang jurnalis AFP.

Sejumlah organisasi HAM Arab – di Israel dan di luar negeri – menandatangani petisi yang menuntut pembebasan Makhoul.

Mereka mengklaim penangkapan Makhoul merupakan bagian dari kampanye berkepanjangan Israel melawan organisasi-organisasi HAM Arab.

“Selain melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, dalam bebrapa bulan terakhir otoritas Israel menghadapi para aktivis HAM dengan berbagai cara, termasuk penggerebekan, deportasi, larangan bepergian, penolakan visa, dan serangan melalui media,” demikian isi petisi tersebut.

1,3 juta penduduk Arab di Israel adalah warga Palestina yang bertahan di negara Zionis tersebut setelah perang Timur Tengah tahun 1948 yang diikuti dengan deklarasi “kemerdekaan” Israel.

Israel sering menjadi sasaran kritik internasional karena perlakuan rasis dan penganiayaan terhadap kaum minoritas Arab, yang merupakan penghuni asli tanah yang dirampas Israel dan kini hanya tinggal seperlima dari total populasi.

Pada tahun 2006, Israel dan Hizbullah terlibat pertempuran berdarah yang mengakibatkan terbunuhnya lebih dari 1.200 warga Libanon, sebagian besar di antaranya warga sipil, dan 160 orang di kubu Israel, sebagian besar prajurit.

Israel baru-baru ini mengatakan Hizbullah mendapatkan kiriman peluru kendali Scud dari Syiria. Sebuah tudingan yang dibantah Hizbullah.

Awal Mei ini, sekretaris jenderal Hizbullah mengatakan tudingan AS dan Israel yang menyebut Syiria mengirimkan peluru kendali Scud kepada Hizbullah hanya sekedar ancaman belaka.

“Pernyataan AS dan Israel mengenai transfer peluru kendali Scud kepada Hizbullah bertujuan untuk menekan gerakan Hizbullah serta negara-negara yang melakukan perlawanan. Itu hanyalah sebuah bentuk intimidasi, tidak lebih,” kata Hassan Nasrallah dalam sebuah peremuan dengan Perdana Menteri Qatar Sheikh Hamad bin Jasim al-Thani di Libanon. Nasrallah juga membantah kemungkinan adanya perang di Timur Tengah, ia mengatakan tidak ada tujuan politik yang dapat dicapai melalui perang. [adm/suaramedia]

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts