Kelompok Muslim di Niger menyerukan warga untuk memboikot referendum yang akan digelar pekan ini. Referendum itu untuk menentukan apakah konstitusi baru yang isinya mengatur tentang syarat-syarat kembalinya kekuasaan pada rakyat sipil akan diberlakukan di negara yang saat ini dikuasai oleh junta militer itu.

Kelompok Muslim di negeri yang terletak di Afrika Barat itu menyerukan boikot karena konstitusi itu mengabaikan keberadaan komunitas Muslim dan agama Islam. Mereka menolak sistem negara sekuler yang diatur dalam konstitusi baru tersebut.

Hari minggu (31/10) merupakan pemungutan suara pertama dari rangkaian pemilihan umum yang akan memilih pemimpin baru Niger dari kalangan sipil, menggantikan Presiden Mamadou Tandja yang berkuasa lewat kudeta pada bulan Februari lalu. Presiden baru Niger dari kalangan sipil diharapkan sudah bisa diambil sumpahnya pada bulan April tahun depan.

Konstitusi baru berupaya membatalkan kekuasaan presiden Tandja yang mengangkat dirinya sendiri setelah kudeta, sebelum akhirnya digulingkan kembali. Konstitusi baru itu juga mengatur tentang sektor pertambangan yang dikelola pemerintah. Niger merupakan pemasok utama uranium bagi negara Perancis, yang digunakan untuk bahan bakar instalasi nuklir negeri itu.

Dalam konstitusi baru itu juga diatur bahwa kekuasaan negara berbasis sekuler dan terpisah dengan urusan agama. Padahal 98 persen dari 15 juta penduduk Niger adalah Muslim.

"Memisahkan antara negara dan agama bermakna bahwa Allah tidak dijadikan sebagai prioritas di negara yang sebagian besar didanai dari uang milik Muslim--bahwa Anda bisa mengatur rakyat negeri ini dengan ideologi ateis dan anti-agama," protes Harouni Fodi dari Asosiasi Islam Anassi. Kelompok-kelompok Muslim di Niger beberapa tahun ini menunjukkan pengaruhnya yang kuat. Mereka mampu melakukan blokade atau memaksa agar dilakukan perubahan di bidang hukum, antara lain perubahan undang-undang tentang keluarga dan hak-hak perempuan. [adm/eramuslim]

2Komentar

Posting Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts