Sudah diketahui bahwa negara-negara di kawasan ASEAN saat ini tengah berpacu dalam menyambut pasar bebas atau lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagai bagian dari negara ASEAN, Indonesia akan memasuki suatu era perekonomian baru—di mana akan berkompetisi dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Lantas, bagaimana peluang Indonesia dalam menghadapi MEA?

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian Indonesia, tak terkecuali industri keuangan syariah. Memang tidak mudah mengembangkan keuangan syariah untuk dapat bersaing dan beroperasi lintas negara, mengingat industri keuangan syariah Indonesia masih relatif baru dibandingkan dengan negara tetangga. Apalagi keuangan syariah di negeri ini masih menghadapi berbagai persoalan yang tentu dapat penghambat pengembangan keuangan syariah ke depan.

Beberapa Kendala 

Menurut penulis, setidaknya ada tiga kendala keuangan syariah dalam menghadapi MEA. Pertama, pangsa pasar yang masih kecil. Misalnya, market share perbankan syariah yang masih di bawah 5 persen akan menjadi penghambat dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 bank umum syariah, 22 unit usaha syariah, dan 162 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan total aset sebesar Rp273,494 triliun. Sementara pangsa pasarnya baru menyentuh angka 4,61 persen.

Pangsa pasar perbankan syariah ini masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan pangsa pasar industri perbankan konvensional yang sudah mencapai 95,1 persen. Cara yang bisa dilakukan dalam upaya meningkatkan market share perbankan syariah adalah dengan memperkuat permodalan dan melakukan konversi Bank Umum Milik Negara (BUMN) menjadi bank syariah. Terobosan ini diyakini akan mendongkrak pangsa pasar perbankan syariah menjadi lebih besar. 

Kedua, pengembangan produk. Tidak sedikit masyarakat yang beropini bahwa produk-produk yang ditawarkan oleh keuangan syariah sama saja dengan produk keuangan konvensional. Menurut sebagian masyarakat tidak ada bedanya produk keuangan syariah dengan produk yang ada di keuangan konvensional. Anggapan ini telah menimbulkan stigma negatif akan keberadaan industri keuangan syariah. Pesimistis masyarakat muncul karena produk yang ditawarkan keuangan syariah kurang inovatif dan juga terbatas. 

Padahal untuk mendorong keuangan syariah dalam pengembangan produk Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2011 telah mengeluarkan regulasi kepada bank syariah berupa aturan di mana bank syariah boleh meluncurkan produk baru. Dalam regulasi ini bank lain tidak boleh meniru produk yang dikeluarkan bank tersebut selama dua tahun. Regulasi dari BI ini merupakan peluang besar bagi keuangan syariah untuk mempromosikan produk-produk unggulannya. Dengan aturan ini diharapkan keuangan syariah di Tanah Air bisa bersaing—baik di dalam maupun di tingkat ASEAN. 

Ketiga, minimnya sumber daya insani (SDI). Krisis SDI di tubuh keuangan syariah sebenarnya merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum sepenuhnya bisa teratasi. Padahal masa depan industri keuangan syariah sangat bergantung pada pemenuhan SDI yang benar-benar berkualitas. Fakta di lapangan menyebutkan, setiap tahunnya industri keuangan syariah membutuhkan SDI kurang lebih 10.000. Sementara lembaga pendidikan saat ini hanya mampu meng-cover kebutuhan SDI itu sekitar 3.750 per tahun.

Oleh karena itu, krisis SDM ini perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak terutama pemerintah dan institusi pendidikan untuk menciptakan SDM-SDM yang siap pakai, kreatif da inovatif. SDM yang berkualitas adalah faktor kunci bagi masa depan keuangan syariah di Indonesia. Di era pasar bebas ASEAN, SDM yang berkualitas akan menjadi penentu apakah keuangan syariah Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara di kawasan ASEAN. 

Hemat penulis, untuk melahirkan SDM yang siap pakai sesuai kebutuhan pasar, calon karyawan atau bankir harus menguasai dua disiplin ilmu secara memadai: ilmu ekonomi dan pengetahuan syariah. Apabila dua keilmuan tersebut tidak mampu dikuasai dan diintegrasikan, perkembangan industri perbankan syariah bisa berjalan di tempat (stagnan). Berbagai peluang dan tantangan dalam pengembangan keuangan syariah juga harus menjadi perhatian bersama. Pemerintah, akademisi, praktisi, ulama’ dan masyarakat luas perlu bersatu dan bergandengan tangan guna mengahdapi tantangan keuangan syariah ini. 
[adm/Majalah Tabligh Januari 2016]


0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts