Maqasid adalah bentuk jamak dari مقصد   (maqshad), yaitu masdar mimi berasal dari kata  qashada. Dalam Kamus al-Munawwir kata al-qashdu diartikan niat, maksud, tujuan, kesederhanaan, dan jalan yang lurus. Kata maqshad sama dengan al-qashdu, yaitu maksud, tujuan.  Adapun yang dimaksud dengan syarî’ah sebagaimana yang disebutkan dalam Lisan al-Arab berasal dari kata syara’a. al-Syarî’ah, al-Syirâ’, dan  al-Masyra’ah  adalah tempat yang air turun kepadanya. Masyra’ah al-Ma adalah tempat minum yang orang-orang minum dan mengambil air darinya. Kadang mereka juga memasukan hewan mereka untuk minum padanya. Menurut orang Arab syarî’ahartinya air yang banyak dan tak pernah habis. Jika airnya berasal dari langit atau air hujan maka namanya al-karâ’u.
Adapun tujuan hukum syara' sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Ghazâli dalam bukunya al-Mustashfa, bawa maqasid syariah itu ada limayaitu 1.  hifdz al-dîn (Menjaga agama) 2.  hifdz al-nafs (menjaga jiwa) 3. hifdz al-‘aql (menjaga akal) 4. hifdz al-nasl (menjaga keturunan) dan 5.  hifdz al- mâl (Menjaga harta).  
Menjaga agama merupakan maqâsid yang paling penting bahkan merupakan inti semua maqâsid, ruh, dasar dan akarnya, sedangkan yang lainnya adalah cabangnya. Beragama adalah fitrah manusia, maka manusia mesti beragama, baik itu beragama yang hak maupun batil, karena menyalahi fitrah tersebut adalah penyimpangan dan penyelewengan.
Adapun wasilah-wasilah hifdz al-dîn ialah yang dengannya menjadi sempurna agama, yaitu dengan mengamalkannya, mendakwahkannya, berjihad untuk menegakkannya, berhukum dengannya dan menolak hal-hal yang bertentangan dengannya. Adapun  yang dimaksud dengan al-dîndisini adalah dîn al-haq (Islam).
Maqasid yang kedua adalah menjaga jiwa. Syariat Islam menjaga jiwa dengan pemeliharaan yang tak terbatas. Disyariatkannya hukum-hukum adalah untuk kemaslahatan jiwa serta dan menolak hal-hal yang dapat merusak jiwa. Adapun maksud jiwa yang dijaga oleh syariat adalah jiwa yang dipelihara karena sebab Islam, jizyah atau (perjanjian) keamanan. Adapun yang lainnya seperti ahlu al-harbi (orang yang memerangi/ berperang melawan Islam) maka tidak temasukdalam penjagaan ini.
Maqasid yang ketiga adalah menjaga akal. Akal adalah karunia dan nikmat yang paling besar yang Allah SWT berikan kepada manusia dan menjadi pembeda dengan hewan, apabila manusia kehilangan akalnya ia akan seperti binatang. Akal merupakan satu nikmat dari nikmat-nikmat Allah SWT yang berfungsi untuk menegakkan agama Allah SWT dan menggali potensi bumi sertamemakmurkannya.
Maqasid yang keempat adalah menjaga keturunan. Menjaga keturunan merupakan harta pokok dalam kehidupan dan merupakan sebab memakmurkan bumi. Dalam penjagaan keturunan itu terpendam kekuatan umat. Menjaga keturunan mempunyai arti menjaga keberlangsungan generasi masa depan. Upaya menjaga kesinambungan  generasi manusia antara lain disebutkan dalam QS.  al-Nisâ': 9.
Maqasid yang kelima atau yang terakhir adalah menjaga harta. Harta termasuk darûriyyât yang tidak akan tegak kemaslahatan dunia kecuali dengannya. Harta adalah urat kehidupan,dengannya tegaklah kemaslahatan dunia sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Quran Surat al-Nisâ':5
Oleh karena itu dalam perspketif maqâsid bahwa mekanisme dan sistem serta aktivitas ekonomi tidak boleh keluar dan menyalahi aturan syariat Islam. Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanya sebagai trustee (pemegang amanah). Manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk ekonomi.  Segala yang ada dilangit dan dibumi ini adalah milik Allah, kita hanya orang yang diberi amanah untuk mengelola dan memanfaatkannya. Sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban untuk mengamalkan, mendakwahkan, dan berjihad untuk menegakan ekonomi Islam, dan berhukum dengannya serta menolak hal-hal yang bertentangan dengannya.
Motif ekonomi bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan orang lain apalagi mengabaikan etika dan norma agama. Islam mengharamkan kezaliman. Kezaliman terhadap orang lain adalah lawan dari menjaga jiwa. Sebagai bentuk menjaga jiwa,  maka akitvitas ekonomi harus mewujudkan kemaslahatan bagi orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri. Islam mengharamkan penimbunan, spekulasi, judi dan riba adalah untuk menjaga kemaslahatan jiwa. Begitu juga syara mewajibkan perilaku konsumsi manusia haruslah halalan thayyiban, ini adalah dalam rangka menjaga jiwa.
Islam mengharamkan pengurangan takaran dan timbangan bukan hanya pada aspek ekonomi akan tetapi juga yang aspek yang lain, misalnya bekerja dan pembangunan sarana prasarana. Bekerja dengan memakan gaji buta termasuk menzalimi diri sendiri, tidak sesuai dengan tujuan syara.
Syara memerintahkan kepada para pelaku ekonomi untuk berlaku jujur. Kalau sebuah perusahan sudah mengurangi takaran, timbangan dan kualitas sebuah produk, yang membuat konsumen tidak percaya akan mutu produk tersebut, maka akan mengakibatkan perusahaan tersebut gulung tikar dan terciptalah pengangguran, yang akan berdampak rusaknya generasi yang akan datang. Industri  miras, perjudian dan prostisusi, walaupun mempunyai profit, namun madaratnya bagi jiwa dan akal serta keturunan lebih besar dibandingkan manfaatnya, oleh karena itu Islam mengharamkan aktivitas ekonomi tersebut.
Imam al-Ghazali menempatkan harta sebagai maqasid terakhir, karena harta bukanlah tujuan, ia hanya sarana. Harta meskipun sangat penting dan pokok dalam mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia, akan tetapi hal tersebut tidak akan tercipta dan tercapai kecuali apabila didistribusikan dan dialokasikan secara efisien dan adil. Jika harta merupakan tujuaannya, maka akan mengarah pada ketidakmerataan dan kesenjangan sosial serta ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan mengurangi kebahagiaan anggota masyarakat baik di masa sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Oleh karena itu Islam, sebagaimana diuraikan oleh Umer Chapra dalam bukunya Islam and the Economic Challenge, bahwa Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang ada. Ia memiliki akar dalam Syariáh yang menjadi sumber pandangan dunia sekaligus tujuan-tujuan dan strateginya. Berbeda dengan sistem-sistem dunia yang berlaku saat ini, tujuan-tujuan Islam (maqâshid al-syarî’ah) adalah bukan semata-mata bersifat materi, tetapi didasarkan pada konsep-konsepnya sendiri mengenai kesejahteraan manusia (falâh) dan kehidupan yang baik (hayât tayyibah), yang memberikan nilai sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi serta menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik dalam kebutuhan-kebutuhan materi maupun rohani dari seluruh umat manusia.
Walhasil bahwa dalam setiap perilaku ekonomi, haruslah memperhatikan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta bukanlah tujuan utama ia adalah sebuah sarana kita untuk beribadah dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Maqasid syariah, menjaga jiwa, akal dan keturunan adalah maqasid yang berkaitan dengan umat manusia itu sendiri, dimana kesejahteraan dan kebahagiannya merupakan tujuan utama syariah. Jiwa, akal dan keturunan semua manusia harus dilindungi, dikembangkan dan dimakmurkan, bukan hanya mementingkan diri sendiri, mencari keuntungan yang besar dengan merusak dan mengancurkan jiwa, akal dan generasi yang akan datang. [adm/Majalah Tabligh Februari 2016]



0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts