Sumber foto : NU Online

Sudah jadi rahasia umum bahwa lonjakan harga (inflasi) atau kejatuhannya (deflasi) di pasaran produk memiliki hubungan yang erat dengan segelintir pedagang kartel yang bekerja di balik layar dengan bekal skenario pasar. Dalam dunia pangan misalnya, disinyalir sudah berlangsung lama muncul kartel-kartel. Mulai dari hulu sampai ke hilir (konsumen akhir) pedagang kartel ini sudah bercokol dan mempengaruhi harga jual dan beli produk. Petani seolah tidak punya kuasa apa-apa terhadap produknya. Mereka harus senantiasa rela menjadi korban.

Dalam sejarah, Bulog (Badan Urusan Logistik) sendiri didirikan adalah sebagai bentuk penyikapan terhadap kartel yang mempermainkan impor pangan. Hal ini mengingat pangan merupakan kebutuhan primer masyarakat. Jika sampai ia dikuasai oleh kartel, maka akan muncul yang dinamakan kartel primer sehingga berbahaya bagi masyarakat. Maka dari itu didirikanlah Bulog yang dipercaya sebagai pengimpor tunggal pangan untuk keperluan pengendalian harga pangan di pasaran agar tetap berada dalam ruang jangkau daya beli masyarakat. 

Meski sudah dibentuk Bulog sebagai importir tunggal, namun kenyataannya masih ditemukan adanya praktik kartel di masyarakat yang menguasai pasar dan acapkali menempuh cara yang dapat memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan kondisi perekonomian makro suatu bangsa. Yang paling berbahaya lagi adalah bila masuk unsur kepentingan politis ke dalam diri pengusaha kartel ini. 

Dengan berbekal persekongkolan, ia dapat mempengaruhi kondisi harga dan barang di pasaran. Itulah sebabnya terbit UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Di dalam Undang-Undang ini ada sebuah amanat dibentuknya sebuah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diperkuat melalui Kepres No. 75 Tahun 1999. Jadi, sampai di sini maka fungsi dan tugas KPPU pada dasarnya adalah mengawal pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999, yang itu berarti bahwa tugasnya mencakup dua hal, yaitu: 

1. Mengusahakan ketertiban dalam persaingan usaha
2. Menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif (bebas dari monopoli)

Secara umum, di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tindakan anti persaingan” sehingga dikategorikan sebagai “tidak sehat”, adalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Ada sebuah perjanjian yang sifatnya dilarang
2. Jenis/macam kegiatan yang dilarang
3. Posisi dominan perusahaan sehingga menentukan harga di pasar. 

Lantas di mana posisi kartel dalam UU ini? Berdasar UU No. 5 Tahun 1999, kartel dimasukkan ke dalam kelompok perusahaan yang mengadakan “perjanjian” yang dilarang. Tugas KPPU di sini adalah mengawasi perusahaan-perusahaan/pelaku usaha sekaligus menindak dan membuktikan keberadaan kartel berdasar perjanjian yang dibuatnya. Sudah pasti, usaha KPPU ini diawali dengan menangkap adanya indikasi yang mengemuka di masyarakat. Ibarat tidak ada asap tanpa adanya api. Dengan indikasi, ia mengawali melakukan tindakan penelitian dan penyidikan guna membuktikan fakta tersebut.

Meski sudah memiliki payung hukum berupa UU, namun dalam praktiknya KPPU mengalami kesulitan untuk melakukan pembuktian, meskipun bukti-bukti telah dihadirkan dalam persidangan. 

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab utama lemahnya KPPU dalam melakukan penyidikan dan penindakan terhadap kartel. Semua penyebab ini bermuara pada keterbatasan wewenang KPPU, yang antara lain adalah:

1. KPPU tidak memiliki wewenang menggeledah pelaku usaha yang diindikasi melanggar UU No. 5 Tahun 1999.

2. Alasan klasik keterbatasan tersebut adalah menyangkut “rahasia perusahaan” sehingga sulit mendapatkan akses data ang diperlukan.

3. Rahasia dagang merupakan hak yang dilindungi oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Meski KPPU berwenang mengorek keterangan instansi terkait, namun hingga saat ini kerjasama yang baik dalam penyelidikan belum terjalin di antara instansi-instansi ini. Sebenarnya alasannya juga masuk akal, pihak Dirjen HKI tidak berani mengungkap rahasia dagang ke KPPU tersebut karena belum ada payung hukum yang membolehkannya. Akibatnya, penyelidikan lintas sektor belum bisa dilakukan.

4. Meskipun KPPU memiliki kewenangan memanggil dan meminta keterangan para pelaku usaha atau saksi yang diduga mengetahui praktik kartel, namun KPPU tidak bisa memaksa kehadiran masing-masing pihak. Jadi, serba dilematis, karena ketiadaan wewenang memaksa tersebut.

Itulah beberapa di antara kelemahan KPPU dalam tata laksana mengawal perjalanan UU No. Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. 

Buntut penyelesaian perkara oleh KPPU selalu berakhir di pengadilan. Meski dalam beberapa kasus, KPPU sudah berhasil menyeret pelaku kartel ke ranah pengadilan, namun karena akses data yang kurang serta koordinasi lintas sektoral yang tidak berlangsung maksimal, mengakibatkan KPPU menjadi kurang data. 

Contoh kasus yang pernah diungkap oleh KPPU adalah kartel jasa pemeriksaan kesehatan bagi calon tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah, kartel fuel surcharge pada jasa penerbangan domestik Indonesia yang melibatkan beberapa industri jasa penerbangan dan kartel industri farmasi. Menurut hasil penyelidikan dari KPPU, semua kartel-kartel ini terbukti secara sah telah melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. 

Faktanya, hasil penyidikan yang tertuang dalam amar putusan KPPU ternyata dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung disebabkan karena bukti dan data yang dibawa oleh KPPU dianggap belum mampu membuktikan usaha kartel tersebut secara “tegas”. Maksud dari secara “tegas” ini adalah bukti langsung melalui komunikasi ataupun perjanjian tertulis yang melibatkan semua pelaku usaha yang masuk dalam ranah kartel. 

Ingat bahwa, kartel itu terbentuk kadangkala tidak melalui kesepakatan tertulis. Ada kalanya kartel terbentuk melalui perjanjian tidak tertulis. Nah, pembuktian kartel yang melalui kesepakatan tidak tertulis inilah yang paling sulit menghadirkan buktinya, disebabkan harus tegas ditunjukkan fakta komunikasi, yang itu berarti harus ada penyadapan. Sementara itu, KPPU tidak memiliki payung hukum melakukan penyadapan. Jika hal ini mereka lakukan, bukan tidak mungkin ia akan justru dituduh balik telah melanggar pasal transaksi elektronik secara ilegal dan melanggar hak privasi. Dilematis bukan? 

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts