Dokter Soetomo adalah pahlawan nasional yang berpikiran maju dan terbuka. Bersama Douwes Dekker, dan dr. Tjipto Mangunkusumo pada 20 Mei 1908 mendirikan Budi Utomo. Dokter Soetomo lahir di desa Ngepeh, Nganjuk pada 30 Juli 1888 dan meninggal di Surabaya pada 30 Mei 1938 di usia yang relatif masih muda, 49 tahun. Sebelum tutup usia, dr. Soetomo pada tahun 1926 juga ikut berperan dalam pendirian Poliklinik Muhammadiyah di Surabaya.

Corak berpikir maju dan terbuka, acap kali dr. Soetomo mendapatkan pertentangan dari kawan seperjuangan, salah satunya dari tokoh kelompok muslim Indonesia.

Seperti yang terjadi sekitar tahun 1928, dr. Soetomo mengucapkan kalimat, bahwa Ka’bah itu berhala orang Arab dan Digul lebih baik dari Mekkah. Orang ke Digul dengan keyakinan dan orang ke Mekkah sebagai kepercayaan Agama. Sepenggal kalimat tersebut diucapkan oleh dr. Soetomo yang kemudian memicu terjadinya perselisihan antara kaum Muslimin dan Nasionalis Indonesia pada tahun 1928 dan berakhir tahun 1931.

Selain tersohor dengan kepakarannya dalam bidang medis, dr. Soetomo merupakan pemikir yang cerdas. Corak berpikirnya banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat, cakrawala berpikir tersebut tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikannya yang bersumber pada ajaran-ajaran Barat.

Subroto, adalah nama kecildr Soetomo, anak tertua dari Raden Suwadji. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang aktif dan cenderung nakal, karena susah diatur, nama Subroto kemudian diganti menjadi Soetomo. Di bawah asuhan neneknya yang bernama R. Ng. Singowidjojo, Soetomo kemudian di sekolahkan di daerah Madiun, di sana dititipkan kepada R. Djojoatmodjo.

Tidak mau anaknya berpendidikan rendah, Raden Suwadji (ayah Soetomo) kemudian mengirim Soetomo ke Jakarta untuk belajar lanjut di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera). Sejarah panjang bidang kesehatan dr. Soetomo dimulai ketika terjadi wabah penyakit pes tahun 1911.Karena kecerdasan yang dimiliki, Soetomo beserta 6 temannya dari STOVIA direkrut pemerintah Hindia Belanda untuk membantu penanganan wabah tersebut.

Di tahun yang sama, Soetomo mendapat gelar Indische Arts tanpa perlu melewati proses ujian. Ia ditugaskan ke beberapa kota untuk menangani wabah pes, diantaranya Semarang, Jakarta, Tubam, Lubuk Pakam (Sumatera), Kepanjeng (Malang), Magetan, dan di Blora bekerja di Zendinghospital tahun 1917.

Semangat belajarnya tidak pernah padam, tahun 1919, dr Soetomo bersama dua orang lainnya  dr Sjaaf, dan dr Sardjito dikirim ke Eropa untuk belajar pengobatan. Seteleh selesai menempuh pendidikan, Soetomo tidak langsung kembali ke Tanah Air, ia memanfaatkannya dengan bekerja kepada Prof. Mendes da Costa di Amesterdam, juga bekerja dengan Prof. Plaut untuk memperdalam penyakit kulit sampai pada tahun 1923 ia memutuskan kembali ke Tanah Air.

Di Tanah Airnya, dr Soetomo selain dikenal sebagai tokoh yang pakar dalam bidang kedokteran, juga dikenal sebagai pangarah politik, wartawan, dan pemikir. Tahun 1908 ia dipilih untuk menahkodai Organisasi Pribumi, Budi Utomo. Bersama yang lain ia mendirikan Studenclub pada tahun 1924, kemudian perkumpulan itu dilebur menjadi Persatuan bangsa Indonesia (PBI) pada 16 Oktober 1930.

Karena corak pendidikan Barat yang kuat dalam dirinya, dr. Soetomo memiliki pola pikir yang sedikit berbeda dengan tokoh-tokoh pejuang muslim lain. Ia dikenal memiliki pemikiran yang  empiris-positifistik, ini karena latarbelakang pendidikannya yang Barat sentris. Namun, dalam pergerakan ia adalah tokoh yang peduli kepada kemiskinan dan memahami keadaan sosiokultur penduduk pribumi.

Hal ini dapat dilihat dari cita-cita besarnya yang mengagas “Kembali ke Desa”. Dokter Soetomo mengajurkan kepada bangsa Indonesiawaktu itu untukmemperhatikan desa. Gagasan besar ini didasarkan pada kesadaran, bahwa Indonesia bukanlah negara industri melainkan negara agraris.

Menurutnya, kaum pelajar harus mendekati, mendidik kaum tani dan pertanian diperbanyak, usaha rakyat kembali ke tanah supaya diperkuat. Kaum terpelajar harus mendekati, mendidik kaum tani. Itulah sebabnya gerakan Soetomo memakai simbol “Pena dan Sabit”, simbol ini dimaksudkan untuk mendekatkan kaum terpelajar dengan kaum petani.

Paradigma empiris yang terinternalisasi dalam jiwanya berpengaruh terhadap argumennyayang bersebrangan dengan tokoh muslim Indonesia. Sekitar tahun 1928 dr. Soetomo memicu perselisihan akibat pernyataan yang menyamakan Ka’bah sebagai berhala, dan membandingkan Mekkah dengan Degul. Hal ini memicu perselisihan selama 3 tahun antara kaum Muslimin dan Nasionalisten di Jawa.

Namunperselisihan tidak sampai berlarut-larut, mengingat kedua belah pihak memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan dan membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Akhirnyakedua pihak saling menginsyafi kekurangan dan kesalahan masing-masing, kemudian perselisihan itu berakhir tahun 1931.

Pernyataan tersebut menurut Tamar Djaja dalam bukunya yang berjudul Pusaka Indonesia Orang-orang Besar Tanah Air tahun 1940, menyebut “Penjerangan dr Soetomo itu kalau boleh disebutkan penjerangan, adalah disebabkan oleh kekurangan ilmu pengetahuannja tentang Islam, dan didorong oleh semangat politik jang berkobar-kobar.” Ia juga menegaskan bahwa dr Soetomo bukanlah orang kafir, karena dr Soetomo memang muslim.

Setelah kejadian itu, dr Soetomo semakin akrab dengan kalangan tokoh Muslimin. Sebelum masa akhirnya, ia sempat mendiskusikan tentang falsafah hidup dengan H Mas Mansur. Serta dalam proses pengkuburannay juga dilakukan secara Islami. Sebelumnya ketika hendak mendirikan Bank Indonesia di Surabaya, ia meminta pendapat kepada ulama dan tokoh Muslim tentang hukum rente.

Di kemudian hari dr Soetomo juga dikenal sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang berasar dari Jawa Timur, yakni menyampaikan bahwa  teologi Al ma’un adalah teologi welas asih. Dokter Soetomo yang juga merupakan dokter Muhammadiyah ini ikut mendirikan Rumah Sakit dan  Poliklinik Muhammadiyah di Surabaya pada tahun 1926.

Sebagai Wartawan,sebagai sebagai poltikus yang jeli, dr Soetomo mengerti dan sadar betul akan manfaat media sebagai alat propaganda perjuangan dan cita-cita besarnya. Peredaran surat kabar masa itu juga digunakan sebagai tolok ukur tinggi rendahnya kemajuan suatu bangsa. Menurutnya, pergerakan nasional akan rendah mutunya kalau disampingnya tidak ikut surat kabar.

Hal ini yang menjadikannya satu diantara banyak tokoh perjuangan Indonesia yang memiliki sensifitas yang tinggi terhadap keberlangsungan media sebagai alat perlawanan terhadap penindasan kepada pribumi. Surat kabar digunakan sebagai selompret utama dari gerakan perlawan kolonialisme.

Dr Soetomo memimpin serta menerbitkan banyak surat kabar, yaitu harian Suara Umum, Tempo, Penjebar Semangat (dalam bahasa Jawa), dan Majalah Bangun.  Melalui surat kabar tersebut, ia menuliskan dan menyebarkan gagasan-gagasan besarnya kepada khalayak. Ia selalu menulis, bukan hanya perihal gagasan dan ke-Indonesiaan, melainkan juga cerita dan temuan-temuan selama kunjungannya ke luar negeri.

Misalnya selama perjalanan di Eropa, dr Soetomo rutin mengirim kabar yang terjadi di Eropa yang diterbitkan di surat kabar Suara Umum. Kemudian dari surat kabar ini menjadi rujukan media/pers Indonesia dalam menulis berita. Kabar yang ditulis meliputi pandangan luar negeri, baik dari pemimpin, maupun cendikiawan. Upacara-upacara besar yang digelar di suatu negara dan masih banyak lagi yang lain.

Sumber : Muhammadiyah.or.id

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts