Seiring dengan pergantian tahun 2019, nuansa perpolitikan di negeri ini kian menghangat. Apa lagi setelah diselenggarakan debat pertama pasangan calon (Paslon) Presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu. Dunia nyata dan lebih-lebih dunia maya heboh. Riuh. Tak berhenti branda medsos dijubeli berita dan debat antar pendukung kedua paslon.

Tak dipungkiri. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam menjadi target utama paslon untuk dijadikan lumbung suara meraih kekuasaan. Setiap kali hajatan lima tahunan ini bergulir, suara umat Islam selalu menjadi primadona.

Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Mulai dari simbolisasi diri/parta yang mengarah kepada islamisasi. Hingga janji-janji manis hendak mengangkat/mendukung kemajuan Islam dan umat Islam di negeri ini.

Di sinilah umat Islam perlu hati-hati dalam menentukan pilihan. Jangan tergoda oleh ‘cover’ yang nampak ‘cantik’. Tapi harus benar-benar teliti, sehingga tidak salah pilih. perkembangan tekhnologi dan informasi, relatif lebih mudah untuk menjajaki secara mendalam calon pilihan masing-masing.

Selain itu, tentu saja dengan bertanya kepada mereka yang berkopetensi. Terutama ulama-ulama yang berintegritas. Yang mengedepankan kepentingan umat, di atas segalanya. Karena ulama yang ikhlas, pantang menyesatkan umat. al-Hamdulillah. Sekarang ini sudah banyak juga ulama memiliki kepedulian terhadap politik, meski tidak terjun secara praktis.

Petunjuk Nabi

Kedudukan pemimpin bagi umat Islam sangatlah penting. Sebab di genggamannya segala keputusan strategis yang berkaitan dengan hajat umat manusia, khususnya umat Islam digantungkan.

Prihal itu pula, Imam Ahmad, tidak ragu menyatakan untuk meminta dianugerahi pemimpin adil, sekiranya beliau diberi pilihan untuk menyampaikan satu permintaan kepada Allah, dan itu pasti dikabulkan.

Di sisi lain, Allah dan Rasul-Nya menuntun umat ini untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin. Itu dibuktikan dengan diberikan secara taktis mengenai karakteristik pemimpin yang layak untuk dipilih, serta yang patut ditinggalkan.

Terkait dengan statment terakhir, dalam salah satu sabdanya Rasulullah ﷺ bersabda dalam redaksi untaian doa;

اللهم إني أعوذبك من إمارةِ الصبيان والسفهاء

“Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” (HR. al-Bukhari)

Melalui hadits ini, Rasulullah ﷺ mengisyaratkan ada dua karakter pemimpin buruk. Pertama adalah kekanak-kanaan. Menarik untuk menelaah, mengapa umat Islam harus berlindung dari pemimpin macam ini.

Untuk itu, mari mendalami karakter yang melekat pada anak-anak. Di antaranya; Pertama; Bergantung pada pihak lain. Terutama orangtua. Sikap independensi masih sangat lemah. Interfensi orang-orang terdekatnya masih mendominasi dalam menentukan suatu keputusan.

Tentu sangat berbahaya bila ada pemimpin berkarakter macam ini. Terlebih, bila disekitarnya adalah orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi maupun kelompok. Rawan keputusan banyak berpihak kepada keuntungan segelintir orang. Adapun masyarakat secara umum berpotensi mengalami kerugian, bahkan penzoliman.

Berbeda dengan orang yang telah berpikiran dewasa dan matang. Ia mampu mencerna dengan baik masukan-masukan, kemudian menganalisanya secaran mendalam, dan selanjutnya mengambil keputusan terbaik menurut pertimbangannya. Sekalipun semua orang berseberangan, selama ia meyakini bahwa keputusan yang dipilihnya tepat menurut analisisinya, maka akan diambil.

Itulah cermin kepemimpinan matang yang ditunjukkan oleh Abu Bakr As-Shiddiq, pada awal-awal kepemimpinannya. Saat itu ia harus mengambil sikap terhadap para pemberontak dan kaum murtad. Keputusannya tegas; diperangi. Banyak sahabat tidak setuju dengan langkah itu, termasuk Umar bin Khathab. Tapi beliau tetap dengan pendiriannya.

Dan ternyata, di kemudian hari didapati kenyataan, bahwa keputusan yang diambil itu sangat tepat. Gejolak bisa diredam. Sistem pemerintahan pun kembali jalan normal.

Karakter yang kedua adalah egois. Anak memiliki sifat keakuannya sangat tinggi. Sehingga cenderung ‘otoriter’. Memaksakan kehendak. Segala kemauannya harus dituruti. Tak peduli itu membahayakan dirinya ataupun orang lain.

Tengoklah anak kecil yang menginginkan permen atau es krim. Padahal ia batuk. Orangtuanya melarang. Tapi ia memaksakan diri. Sampai menangis-nangis supaya dipenuhi keinginannya.

Pemimpin berkarakter demikian berpotensi sukar untuk diingatkan, ketika melakukan kesalahan. Padahal, sudah lazim yang namanya manusia itu tidak luput dari kesalahan. Namun, ia berusaha mengendalikan kebenaran. Sehingga siapa saja yang mencoba mengeritik kebijakannya, dianggap membangkang. Ia pun tak segan untuk menjatuhi hukuman. Meski lawan berada pada pihak yang benar.

Adapun pemimpin yang matang, pijakannya adalah kebenaran. Ia tak akan malu mengakui kesalahan pribadi, dan kebenaran di pihak ‘lawan,’ bila memang perkara itu benar. Seperti yang dicontohkan oleh Umar ketika memutuskan untuk memberi batasan maksimal jumlah mahar bagi kaum wanita, guna mempermudah kaum pria yang hendak menikah.

Keputusan itu diprotes oleh seorang muslimah, sebab dianggap menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, yang tidak penah menetapkan hal demikian itu. Menyadari kekeliruan, Umar pun menganulir keputusannya. Ia bersegera meminta ampun atas kekelurannya, meski niatnya mulia.

Selanjutnya, sifat yang ketiga yang melekat pada anak kecil itu; baperan. Alias bawa perasaan ‘bin’ mudah tersinggung. Anak kecil mudah sekali tersulut emosinya, bila ada hal yang dianggap merendahkan dirinya. Misal, ketika ia tengah membuat sesuatu, kemudian ada temannya yang menilai jelek dan mengolok-ngolok karyanya. Maka ia akan terpancing marah, bahkan bisa jadi menyerang balik si kawan.

Jadi, bawaannya ingin selalu dipuji. Jelas ini adalah perilaku buruk. Repot kalau pemimpin haus pujian. Semua yang bersilang dianggap merendahkan wibawanya. Padahal hakekat dari pujian itu adalah penyembelihan (HR. Ibnu Majah). Membinasakan.

Selain itu, sikap ini menyelisihi keteladan baginda Nabi Muhammad ﷺ, sebagai pemimpin umat. Betapa beliau tidak pernah mengindahkan segala bentuk kekejian dan perendahan yang menimpa dirinya. Sebaliknya, sangat murka manakala kesucian Islam dan kemuliaan Allah, serta kepentingan masyarakat luas terabaikan. Hatta terhadap hewan dan tumbuhan sekalipun beliau akan tegakkan keadilan.

Inilah di antara ulasan, pentingnyya berlindung dari terpilihnya pemimpin yang berwatak kekanak-kanakan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya, seperti mudah mengeluh dan gampang menjilat ludah sendiri. Semuanya tidak mungkin bisa dikupas di sini.

Kemudian, melihat besarnya urusan kepemimpinan, tentu saja memerlukan kecerdasan untuk mengetaskannya. Baik itu secara intelektual, emosional, lebih-lebih sepiritual.

Karena itu kita pun perlu berlindung agar dipimpin oleh pemimpin berwawasan sempit. Menyerahkan kepemimpinan kepada orang bodoh adalah kecelakaan besar. Sebab ia hanya akan melahirkan keputusan-keputusan yang merugikan khalayak banyak, sebagai buah dari ketidakpahamannya menguasai persoalan.

Jadi, bila kita dapati di antara dua paslon capres dan cawapres pemilu 2019 berkarakter semisal di atas. Merujuk kepada petunjuk Nabi, mari jangan ragu untuk mengabaikan. Pilihlah yang lebih baik.

Terakhir sebagai penutup. Mari berdoa, semoga tahun 2019 ini, Allah akan pilihkan kita pemimpin yang akan membawa negeri ini menjadi baldatun thaibatun wa rabbul ghafur. Aamiin.





(Admin Hidcom/hidayatullah)

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya

Recent Posts